Sabtu, 05 Maret 2011

Travelogue - Thailand (1): Chiang Mai, Mawar dari Utara




di Wat Phra That Doi Suthep
Ini adalah sebagian catatan dari perjalanan nge-trip saya bareng rekan-rekan kerja di bulan february lalu. Rute yang kami ambil adalah: Jakarta - KL - Bangkok - Chiang Mai - Chiang Dow - Chiang Mai- Bangkok - Jakarta, dalam waktu sembilan hari.

Sengaja saya memposting Chiang Mai terlebih dahulu, karena secara pribadi -dan menurut pendapat rekan-rekan yang lainnya-, kota ini adalah yang paling meninggalkan kesan.

Nama Chiang Mai sendiri sudah lama saya dengar. Seingat saya, waktu itu saya masih SD, dan Chiang Mai menjadi tuan rumah penyelenggaraan pesta olahraga ASEAN alias SEA Games.

Chiang Mai yang dikenal dengan sebutan Mawar dari Utara, terletak di sebuah propinsi di bagian utara Thailand, dengan nama yang sama. Sebenarnya ibukotanya disebut Mueang Chiang Mai, namun pada akhirnya cukup disebut Chiang Mai saja.

Sebagai kota terbesar kedua di Thailand, ternyata Chiang Mai tidaklah terlalu besar dan crowded. Dibandingkan dengan Bogor yang entah kota terbesar keberapa di Indonesia pun, Chiang Mai jauh-jauh lebih tenang. Kontras sekali dengan Bangkok yang hiruk pikuk dan panas, dengan ukurannya yang hampir tiga kali luas Jakarta.

Penggambaran yang mudah tentang Chiang Mai adalah, kota dengan suasana gabungan antara Jogja, Bandung dan Pulau Bali. Tenang, penduduknya ramah, berhawa cukup sejuk, tapi terkesan internasional karena wisatawan ada dimana-mana. Pokoknya membuat betah.

Old Lanna City

Chiang Mai merupakan sebuah kota yang didirikan oleh Raja Mengrai pada abad ke 13, sebagai ibukota kerajaan Lanna, menggantikan Chiang Rai. Secara harfiah namanya berarti Kota Baru.

Kawasan asli dari kota Chiang Mai yang didirikan oleh sang raja tersebut, sampai saat ini masih ada dan terjaga. Dan disebut sebagai Old Lanna City. Terletak tepat di tengah jantung kota Chiang Mai modern.

Kota tua tersebut jika dilihat dari udara berbentuk bujur sangkar, yang dikelilingi dengan benteng batu bata setebal 3-5 meter dengan panjang pada sisi-sisinya kurang lebih 1,5 km dan kanal-kanal air selebar kurang lebih 10 meter. Benteng dan kanal air tersebut dibangun untuk melindungi kota dari serangan kerajaan Burma.

Ada beberapa pintu gerbang atau Pratu yang menjadi akses jalan masuk ke dalam kota tua Lanna. Yaitu Pratu Chang Pheuak di sebelah utara, Pratu Chiang Mai dan Pratu Suan Prung di sebelah selatan, Pratu Suan Dok di sebelah barat, dan Pratu Tha Phae di sebelah timur.

Sebagian pratu-pratu tersebut masih kokoh berdiri, hanya saja bangunan benteng yang mengelilingi kota tua Lanna tak lagi selengkap dulu. Hanya tersisa beberapa bagian saja. Beberapa diantaranya ada yang berdiri di atas pulau kecil di dalam kanal. Dan jika dilihat dari bentuk alur batu bata yang tersisa -melengkung membentuk kurva mengarah ke tanah-, kemungkinan pernah ada gempa atau perubahan struktur tanah yang menghancurkan benteng-benteng tersebut.

Saat ini bagian dalam kawasan tersebut sudah terisi dengan rumah-rumah modern, walaupun ratusan wat-wat cantik dan beberapa diantaranya adalah tua, tetap berdiri kokoh di dalamnya. Hotel, kafe dan fasilitas penunjang wisata untuk berbagai kelas pengunjung juga menjamur di dalamnya. Namun begitu tetap saja, kesannya tenang.

Tha Phae Gate

Dari semua pratu-pratu yang ada, Pratu Tha Phae atau disebut juga Tha Phae Gate adalah yang paling terkenal. Karena konon jika kita pernah memasuki kota Lanna Chiang Mai melalui pratu tersebut, maka suatu saat nanti kita akan kembali kesana. Karena saya -dan rekan-rekan saya pada akhirnya jatuh cinta -dan ingin kembali lagi ke Chiang Mai-, maka di akhir kunjungan saya ke Chiang Mai, terhitung saya melintasinya sebanyak enam kali :-)

Selain itu Tha Phae Gate terkenal, karena di bagian depannya terdapat sebuah lapangan luas berlantai paving-block yang dipasangi tempat untuk duduk-duduk bersantai. Biasanya pagi hari atau sore hari adalah waktu terbaik untuk menghabiskan waktu di lapangan tersebut. Kita bisa duduk-duduk menghabiskan waktu, sambil memberi makan ratusan burung dara jinak yang berhinggapan di lapangan, mungkin juga sambil membaca buku atau sekedar mengobrol bersama rekan-rekan.

Namun begitu di malam hari, kawasan di sekitarnya, berubah menjadi Red District Area.

Sunday Market

Sunday Market di Tha Phae Gate
Di setiap minggu malam, maka lapangan di depan Pratu Tha Phae akan tenggelam ke dalam kemeriahan Sunday Market. Dimana hampir seluruh wisatawan yang sedang berada di Chiang Mai akan berkumpul untuk membeli souvenir dan makanan-makanan lokal khas Chiang Mai.

Sunday Market ini hampir selalu meriah dan disesaki pengunjung, karena harga souvenir-souvenir yang dijual disini bisa jauh lebih murah ketimbang yang ada di Chiang Mai Night Bazaar setiap malamnya, yang menurut saya pun sudah sangat murah.

Sunday market akan dibuka mulai jam enam sore hingga sebelas malam. Dimulai dari lapangan di depan Tha Phae Gate, kemudian melintasinya memasuki kota tua Lanna, membelah Ratchadamnoen Road hingga ke depan Wat Phra Sing, dan bercabang-cabang di setiap perempatan yang ditemuinya.

Selama berlangsungnya sunday market, jalan-jalan di dalam kota tua Lanna tertutup untuk kendaraan, dan didedikasikan hanya untuk kegiatan pasar malam tersebut.
Wat Chedi Luang, Old Lana City

Di dalam kota tua Lanna, bertebaran pula puluhan Wat-Wat cantik. Pada hari biasa, di malam hari wat-wat tersebut akan ditutup. Tapi pada setiap malam sunday market, wat-wat tersebut dibuka.

Mengunjungi atau melintasi wat-wat tersebut di malam sunday market, adalah sebuah hiburan tersendiri. Karena menatap pantulan cahaya yang menimpa bangunan-bangunan cantik keemasan dan keperakan itu sungguh berbeda sensasinya dibandingkan jika kita menatapnya di bawah sinar matahari, bahkan chedi-chedi batu yang sejatinya berwarna putih kapur pun berpendaran dalam warna yang sangat magis, akibat tata cahaya yang telah diatur sedemikian rupa.

Kebetulan saya dan teman-teman berada di Chiang Mai sejak minggu pagi, sehingga malamnya kami bisa ikut merasakan kemeriahan Sunday Market. Dengan dana sisa yang tidak terlalu banyak, kami bisa belanja oleh2 ala kadarnya ;-)


Chiang Mai Night Bazaar

Anusarn Market
Ini adalah pasar malam yang terkenal di Chiang Mai, terbentang sepanjang Chang Khlan Road. Dibuka setiap harinya, sepanjang tahun, mulai jam enam sore hingga satu malam dini hari. Pasar malam ini hanya terasa agak sepi pada minggu malam, karena perhatian pengunjung berpindah ke Sunday Market di kawasan Old Lanna City.


Barang-barang yang dijual disini umumnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Sunday Market, terutama pernak-pernik khas Thailand utaranya. Dan kalau cukup jeli, kita bisa menemukan barang-barang yang bahkan di Chatuchak Weekend Market Bangkok pun tidak kita temukan.

Ada beberapa spot yang juga ramai setiap malamnya disini. Yaitu Kalare Night Bazaar, dan Anusarn Market. Di dua tempat tersebut selain terdapat pedagang-pedagang souvenir, juga terdapat rumah makan yang menyediakan berbagai macam masakan. Mulai dari masakan asli Thai, hingga menu-menu internasional lainnya. Mulai dari yang halal untuk wisatawan muslim, hingga yang tidak terjamin kehalalannya. Dari yang relatif murah hingga cukup mahal. Semua ada, tinggal pilih sesuai dengan budget dan selera.

Kebetulan saya dan rekan-rekan tinggal di hotel Night Bazaar Palace, yang terletak di Chang Khlan Road. Sehingga kami hanya tinggal keluar dari lobby hotel untuk dapat merasakan kemeriahannya. Jujur saja, meskipun tidak selengkap Chatuchack Weekend Market, saya lebih suka suasana semua pasar malam di Chiang Mai. Selain terasa lebih bersahabat, juga berlangsung di malam hari. Adem, gak perlu panas-panasan ;-p




Makanan dan Kawasan Muslim

Tom Yam Seafood
Selalu ada tantangan tersendiri, untuk saya dan rekan-rekan yang muslim, ketika berkunjung ke negara yang mayoritas penduduknya non muslim. Apalagi kalau bukan soal makanan halal.

Selama di Bangkok, kami pernah berjalan dari Sukhumvit Soi 11 hinggak Soi 7 hanya untuk mencari nasi ataupun makanan yang masih agak jelas kehalalannya. Dan sekalinya menemukan spot makanan halal, kami berusaha kembali ke tempat tersebut, hanya untuk makan. Seperti misalnya kami selalu kembali ke kawasan Chakrabongse di dekat Khaosan dan Rambutri, serta foodcourt di MBK hanya untuk makan agak kenyang dan tenang :-p

Tapi untungnya di Chiang Mai, kami mendapat hotel yang terletak di kawasan Muslim. Kami mendapatkan hotel ini atas bantuan Ose -seorang teman dari Indonesia yang tinggal di Mae Hong Son, propinsi tetangga Chiang Mai- yang khusus datang ke Chiang Mai untuk menemani setengah hari pertama kami di kota itu.

Kawasan muslim ini, terletak di Charoenphrated Road Lane 1, sebuah jalanan kecil yang menghubungkan Charoenphrated Road di sisi barat sungai Ping dengan Chang Khlan Road di dekat Wat U Pakut.

Disini terdapat komunitas muslim lengkap dengan masjid yang cukup besar, yaitu Masjid Hidayatul Islam Banhaw, lengkap dengan Islamic Centre nya. Dari nama, dan beberapa tulisan yang terdapat di bagian atas dan dalam masjid, kelihatannya masjid ini didirikan oleh komunitas muslim China yang bermukim di Chiang Mai. Namun begitu, kita bisa menemukan orang dari berbagai etnik selama beribadah di dalamnya.

Kami hanya butuh waktu kurang dari dua menit untuk berjalan sampai di mesjidnya, bahkan kami tetap bisa mendengarkan suara adzan dari dalam kamar hotel, setiap kali waktu shalat tiba. Dan untuk mencari makanan halalpun, kami tidak perlu bersusah payah lagi seperti di Bangkok.

Untuk saya yang termasuk penikmat kuliner, dan jauh-jauh hari sudah bertekad ingin mencoba makanan asli Thai di tanah kelahirannya, makan di daerah ini rasanya seperti menemukan surga. Saya bisa makan makanan khas Thai, dengan harga cukup terjangkau, enak dan tenang, karena terjamin kehalalannya.

Khao Pheun (panas)
Selain Tom Yam soup yang sudah menjadi trademark masakan asli Thailand, saya juga mencicipi Khao Soi, Kway Tiaw Nam, dan beberapa makanan lain yang saya lupa namanya.

Bahkan ada satu masakan yang belum pernah saya bayangkan sama sekali, yaitu Khao Pheun (moga2 gak salah tulis nama). Semacam mie yang dilengkapi dengan sayur-sayuran dan ditaburi kacang, dan sekilas mirip dengan pecel.

Khao Pheun dijual dalam dua jenis, yang panas dan yang dingin. Bedanya adalah pada Khao Pheun panas, setelah mie dimasukkan ke dalam mangkok maka akan dituangi semacam bubur mirip bubur sumsum berwarna kuning, baru kemudian di atasnya ditambahkan sayur-sayuran, kacang tanah yang ditumbuk kasar dan ton hoom alias daun ketumbar. Sementara pada Khao Pheun dingin, bubur sumsum tadi berbentuk lebih padat, serupa dodol lunak yang dipotong persegi memanjang, sedangkan selebihnya sama.
(bersambung)

5 komentar:

  1. pengen juga nih bisa kesini

    BalasHapus
  2. btw pd dpt lady boy satu2 yaw wkwkwkwkwkwk....

    BalasHapus
  3. @ipul:
    kemarilah pul, layak kunjung kok ;-)
    btw, tukeran link yaaa ...

    @b3n6:
    buat mu aja dah :-p

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. hahaha campuran yang aneh itu pastinya :-D

      Hapus