Selasa, 19 Agustus 2014

Travelogue - Nepal (5): Goodbye Nagarkot, Hello Bhaktapur!


<<< travelogue sebelumnya

Saya terbangun di pagi berikutnya dengan perasaan bersyukur karena tidak membeku ataupun terkena hypothermia. Walaupun wajah saya, sebagai satu-satunya bagian yang terbuka, seperti mati rasa.
 
Aliran air panas pada waktu berwudhu kemudian sedikit membantu saya menghangatkan diri setelahnya.
 
Saya sempat membuka jendela, dan mencoba menikmati pemandangan Nagarkot di waktu fajar. Semuanya putih! Tertutup kabut! Hahaha.
 
Hanya terlihat samar deretan pohon-pohon pinus, dan semak belukar di kaki bukit. Juga sebuah bangunan yang memiliki teras kecil terbuka pada puncaknya.

Senin, 18 Agustus 2014

Travelogue - Nepal (4): Overnight at The End of The Universe


<<< travelogue sebelumnya

Sedari awal, kami memang merencanakan untuk menginap pertama kali di Nagarkot, begitu sampai di Nepal. Bukan di Kathmandu. Dengan alasan, agar pergerakan traveling kami bisa lebih efisien. Dari timur ke tengah, lanjut ke barat, lalu ke tengah, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia.

Menurut rencana, jalur traveling kami adalah seperti ini: Nagarkot - Kota Tua Bhaktapur - Kathmandu - Pokhara - Kathmandu. Dan kemudian kembali terbang ke Jakarta.

Nagarkot sendiri merupakan sebuah desa, yang berjarak sekitar 30 km dari Bandara Tribhuvan di Kathmandu. Terletak pada ketinggian 2195 meter di atas permukaan laut, dengan kontur yang berbukit-bukit dan menjadi bagian dari distrik Bhaktapur.

Rute dari Bandara Tribhuvan Kathmandu menuju Nagarkot (google maps)
Desa ini banyak direkomendasikan bagi para traveler yang ingin menghabiskan waktu untuk aklimatisasi sebelum atau sesudah melakukan trekking ke Everest Base Camp (EBC). Selain juga merupakan tempat melarikan diri dari kesumpekan Kathmandu yang lebih metropolis.
 
Nagarkot memiliki view point yang bagus untuk menikmati keindahan Pegunungan Himalaya dari kejauhan. Sekitar delapan dari tiga belas range Himalaya bisa diamati dari Nagarkot. Yaitu: Annapurna, Manaslu, Ganesh Himal, Langtang, Jugal, Rolwaling, Mahalangur (range Everest) dan Numbur. 
 
Himalaya Namaskar dari sini? Cocok! :-)

Sabtu, 16 Agustus 2014

Travelogue - Nepal (3): Kathmandu, First Encounter

 

<<< travelogue sebelumnya

Sebenarnya adalah Tibet yang menjadi obsesi saya sejak kecil. Negeri yang berada di utara punggung Himalaya itu sudah bertahun-tahun menarik hasrat saya untuk traveling ke tengah Benua Asia. Namun karena beberapa masalah teknis, sampai saat ini saya belum berhasil kesana.

Maka ketika untuk pertama kalinya saya melihat orang Tibet di Kathmandu, saya langsung mengamati mereka dengan amat sangat. Penampakan mereka terlihat sangat eksotis. Wajah keras bermata sipit, dan terkadang sedikit mirip Indian, dengan guratan yang dalam. Bulir rambut mereka tebal dan kuat. Dengan kulit terang yang kuning kemerahan, akibat sering terpapar suhu dingin yang ekstrim. Perawakan mereka tampak kokoh, karena tempaan alam yang keras. Beberapa bagian atau lapis baju mereka, terutama wanitanya, terlihat tidak jatuh lembut, melainkan kaku. Sepertinya mengandung kulit binatang, karena saya melihat ada bulu-bulu juga disana.

Rombongan Tibet di Baggage Claim Area
Saya tidak tahu, apakah cara saya mengamati mereka terlalu obvious saat itu. Namun saya rasa, mungkin mereka juga terbiasa dengan cara orang baru, memandang mereka. Saya hanya khawatir, cara saya mengamati, bisa menyinggung mereka. Maka ketika seorang kakek Tibet melihat ke arah saya yang sedang asyik mengamati, saya berusaha tersenyum untuk mencairkan suasana dan menghilangkan kegugupan. Ia membalas dengan senyuman, yang seketika merubah wajah kerasnya menjadi ramah luar biasa.

Jumat, 15 Agustus 2014

Travelogue - Nepal (2): Welcome to Nepal!




<<< travelogue sebelumnya

Saya teringat pada suatu sore di Gili Trawangan, di bulan Oktober 2013. Travelmate saya melontarkan satu ajakan, "kita jalan ke Nepal yuk?"

Dengan spontan saya cuma menjawab, "Nepal?"
Saya tidak menolak, juga tidak merasa terlalu tertarik.

Dan entah dapat ide darimana, tiba-tiba sebulan kemudian, secara impulsif, saya membeli tiket Jakarta-Kathmandu pp, untuk perjalanan di bulan Desember 2013.

Sejak itu, saya langsung melakukan riset singkat. Mau eksplor apa saja, mau menginap dimana, jalan kemana saja, caranya bagaimana dan naik apa. Sedetail-detailnya. Termasuk membuat perkiraan biaya yang harus disediakan selama di Nepal. Dan ini adalah salah satu proses yang sangat saya nikmati sebelum traveling.

Dari riset singkat itu, saya akhirnya tahu bahwa bulan Desember adalah masa dimana Nepal sedang berada dalam musim dingin. Meskipun saya tahu bahwa Himalaya berpuncak salju, saya sama sekali tidak membayangkan bahwa Nepal akan terlalu dingin. Pun, karena saya membaca info, bahwa salju jarang turun di lembah Kathmandu.

Dengan membeli satu set long-john dan berbekal syal, sarung tangan, jaket-musim-dingin-berisi-bulu-angsa pinjaman, saya yakin akan bisa survive di Nepal. Dan nantinya saya belajar, bahwa itu saja tidak cukup. Perlu satu hal lagi untuk bisa survive dengan musim dingin di Nepal. Yaitu KETABAHAN! Haha :-D

Kamis, 14 Agustus 2014

Travelogue - Nepal (1): Namaste!


 
Aku ingat senja itu,
ia tenang, megah dan membekukan waktu.
Beranjak redup perlahan,
menyisakan puncak-puncak bersalju,
dalam hitam dan bilur bara yang melepuh.
 
Aku ingat senja itu,
ketika aku lupa akan mimpi dan guliran waktu.
Yang mengaburkan keemasan surya,
dalam desauan angin dingin,
dan menyisakan kerinduan yang senyap.
 
(Sarangkot-Nepal, 23 Desember 2013)
 
===============================================================
 
Namaste!*,
setelah berbulan-bulan kembali dari Nepal dan berulang kali tenggelam dalam romansa kerinduan akan perjalanan itu, baru kali ini akhirnya saya benar-benar bertekad untuk menuliskannya. Alasan paling tepatnya adalah, karena akhirnya saya merasa takut apa yang saya lalui saat itu, akan hilang bersama waktu dan ingatan saya.
 
Foto di atas, adalah gambaran dari senja yang menimpa Pegunungan Himalaya pada Range Annapurna, yang saya nikmati dari Sarangkot View Point. Sebuah titik pengamatan Himalaya, pada desa Sarangkot yang terletak di Pokhara, Nepal.
 
Buat saya, kala itu adalah salah satu senja terbaik yang pernah saya nikmati seumur hidup. Karena sebelumnya saya sudah menikmati beribu-ribu senja di perkotaan, beratus-ratus senja di lautan, dan berpuluh-puluh senja sembari menatap horison dari tepi pantai. Namun senja yang menenggelamkan pegunungan bersalju ini adalah yang pertama kalinya. Pun, ia adalah Himalaya yang megah itu.
 
Mungkin saya tak akan pernah bosan, dan bisa berpanjang-panjang membahas senja itu, nanti. Karena tulisan ini hanyalah pembuka, dari seri travelogue perjalanan saya selama sembilan hari di negara yang menjadi Kerajaan Hindu terakhir di dunia. Negeri Seribu Kuil. Nepal.
 
Semoga saya cukup berdisiplin untuk menuliskan lanjutannya :-D
 
* Namaste = adalah salam yang diucapkan sembari menangkupkan dua telapak tangan di depan dada, sebagai pembuka atau ketika kita bertemu dan berpisah dengan orang lain di Nepal.