Senin, 07 Maret 2011

Lost in Translation

Saya sudah lupa bagaimana rasanya menjadi buta huruf. Itu sudah lewat bertahun-tahun lalu. Bahkan saya cuma mengalaminya seperlima waktu dari umur saya sekarang, dan saat itupun mungkin dunia saya jauh lebih mengasyikkan dibandingkan mencoba menyelami sensasi buta huruf. Tapi jujur saja, suatu ketika saya pernah ingin merasakan kembali sensasi itu. Kembali buta huruf.

Dengan tingkat consciousness yang sudah berbeda, tentu rasanya juga akan menjadi berbeda. Melihat deretan huruf-huruf yang tidak bisa saya baca, padahal saya tetap harus hidup seperti biasa.

Ya, terlintas juga di pikiran saya, "apakah saya bisa menjalani hidup sama baiknya, kalau saya kembali buta huruf?"

Hal ini penting dan menjadi tantangan tersendiri buat saya.

Akhirnya kesempatan itu datang juga. Saya kembali merasakannya ketika saya flashpackeran bulan lalu ke Thailand. Selama disana saya hampir 90 % buta huruf, dan sebagai bonusnya saya juga tuli bahasa, alias gak ngerti dengan kebanyakan pembicaraan yang ada di sekitar saya.

Sempat nervous juga memikirkannya.

Awalnya agak sedikit aneh, ketika berada di dalam lingkungan dimana banyak tulisan yang berseliweran tanpa bisa saya mengerti satupun. Orang-orang berbicara dalam bahasa yang asing, dan dalam jumlah yang banyak pula. Sebagian kata yang saya dengar dengan dialek pengucapannya, terkadang terasa lucu dan aneh di telinga. Tidak jarang saya tersenyum dan tertawa, karena sebagian kata-kata tersebut menjelma menjadi kata-kata yang saru.

Saya baru tahu kalau orang Thailand selalu mengucapkan huruf s yang berakhir sebagai konsonan diakhir kata menjadi t. Misalnya mereka menyebut bat untuk bus daripada bas. Bahkan nama pasar terkenal di Chiang Mai yang seharusnya ditulis Waroros, diubah tulisan latin dan pengucapannya menjadi Warorot.

Seorang penjual manisan di MBK, yang menguasai sedikit kosakata Indonesia untuk bermacam-macam rasa. Justru selalu mengundang tawa saya, setiap kali dia menyebutkan rasa-rasa dari manisan yang dijualnya. Untuk kata manis-pedes-asem, dia selalu mengucapkannya sebagai manit-pedet-atcyeeeem! hahahaha ... jadi imut khan kedengarannya?

Suatu ketika saya berkenalan dengan seorang pemuda yang mempunyai bisnis rental kendaraan di Chiang Mai. Waktu saya tanya siapa namanya, dia mengenalkan diri sebagai Ep. Karena kebutuhan untuk mengontaknya lagi di lain waktu, maka saya meminta nomor hapenya untuk saya simpan.

"What's your complete name?", tanya saya.
"Just Ep!", katanya.

Lalu saya menuliskan nomor kontak dan namanya. Setelah itu saya tunjukkan padanya apa yang saya tulis di layar hape saya.

"Like this?", saya bertanya, padahal sudah yakin betul.
"No, no, no ... not ep but ep?" katanya.
"Well, this is Ep right?" kata saya.
Dia menyahut lagi, "ep, not ep!"

Eladalah. Ini khan tulisannya Ep, emang salah yaaa?

Belum tuntas rasa penasaran saya, pemuda tersebut dengan cepat mengambil ballpoint dan menulis di secarik kertas yang ada di depannya. Dia menulis besar-besar huruf F!

"This is ep (F)!", katanya sambil tersenyum.

Hahaha, I detected a sundanesse syndrome there!
*no offense ya, saya juga keturunan sunda* ;-)

Saya juga sempat bingung, mondar-mandir di pelataran pasar malam, demi mencari kantor agen bus yang akan saya naiki kembali ke Bangkok dari Chiang Mai. Tidak ada satupun huruf latin yang menunjukkan kantor agen bus tersebut, padahal saya sudah tahu namanya, Sombat Tour. Kalaupun ada yang berhuruf latin disitu, itu hanya berupa restoran. Sementara sebagian besar orang yang saya tanya, tidak bisa berbahasa Inggris.

Setelah hampir empat puluh lima menit, akhirnya saya bisa menemukan kantor agen bus itu, dengan bantuan seorang mbak-mbak penjaga apotik yang kebetulan bisa berbahasa Inggris dengan baik. Padahal sedari tadi saya sudah mondar mandir di depan kantor itu.

Pantesan aja gak ketemu. Soalnya kantor agen bus itu, dijepit oleh dua restoran yang sudah mulai ramai. Dan hanya ada tulisan Thai berukuran besar yang dipajang di plang nya. Sementara di dalam bayangan saya, seharusnya kantor itu di depannya pasti memajang gambar bus dalam ukuran besar plus tulisan kota-kota tujuan yang dilayaninya, seperti yang saya lihat di Bangkok.

Seharusnya mereka pasang gambar bus dong ya.
Picture paints a thousand words, right? :-p

Benar juga kata teman saya, bahwa perasaan asing ketika terjebak pada situasi lost in translation adalah sesuatu yang layak dinikmati pada saat kita pergi ke suatu tempat dimana kemampuan bahasa kita menjadi sedikit tidak berguna. Di saat itu, kemampuan untuk survive dan beradaptasi lah yang berperan.

Mau tidak mau saya dipaksa untuk selalu berpikiran positif ketika melihat orang lain yang seolah-olah sedang membicarakan saya, padahal saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Penasaran sih, tapi mau bilang apa.

Saya juga sangat menikmati perasaan menjadi asing, dimana sekaligus saya bisa cuek dan menjadi setengah invisible, ketika orang-orang berbicara di sekitar saya. Juga ada perasaan girang, ketika saya bisa mendapatkan apa yang saya maksudkan dengan bahasa yang campur aduk, ya bahasa Inggris, kadang bahasa Indonesia juga kalau sedang kesal, dan selebihnya dengan bahasa isyarat.

Saya selalu percaya bahwa manusia itu telah diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk beradaptasi dan survive dalam kondisi apapun. Dan kepercayaan itulah yang selalu membuat saya mampu menekan rasa nervous ketika berada dalam kondisi lost in translation. Dan hal terakhir yang paling menyenangkan dari ini semua adalah, pada akhirnya saya menjadi lebih percaya diri lagi.

Mau coba?
Believe me, it feels so great, guys!


images source: gettyimages.com

3 komentar:

  1. tulitannya bagut & teru euy!

    #lidahThaiSunda

    BalasHapus
  2. @Gio:
    hahaha ....
    *suguhin sambel pedet*

    BalasHapus
  3. pake f seperti pada kata coca cola....:D

    another nice writing bart :)

    BalasHapus