<<< travelogue sebelumnya
Sebenarnya adalah Tibet yang menjadi obsesi saya sejak kecil. Negeri yang berada di utara punggung Himalaya itu sudah bertahun-tahun menarik hasrat saya untuk traveling ke tengah Benua Asia. Namun karena beberapa masalah teknis, sampai saat ini saya belum berhasil kesana.
Maka ketika untuk pertama kalinya saya melihat orang Tibet di Kathmandu, saya langsung mengamati mereka dengan amat sangat. Penampakan mereka terlihat sangat eksotis. Wajah keras bermata sipit, dan terkadang sedikit mirip Indian, dengan guratan yang dalam. Bulir rambut mereka tebal dan kuat. Dengan kulit terang yang kuning kemerahan, akibat sering terpapar suhu dingin yang ekstrim. Perawakan mereka tampak kokoh, karena tempaan alam yang keras. Beberapa bagian atau lapis baju mereka, terutama wanitanya, terlihat tidak jatuh lembut, melainkan kaku. Sepertinya mengandung kulit binatang, karena saya melihat ada bulu-bulu juga disana.
Rombongan Tibet di Baggage Claim Area |
Are you malaysians? Ringgit, please!
Setelah tertahan cukup lama di dalam bandara akibat antrian visa di Imigrasi, dan proses klaim bagasi, akhirnya saya dan travelmate merasakan kembali udara dingin Kathmandu. Kami segera mencari jemputan dari hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Tidak terlalu sulit, karena supir yang akan membawa kami, sudah menunggu di depan pintu kedatangan sambil membawa kertas yang bertuliskan nama saya. Dan pada saat itulah kami menyadari, bahwa dia tidak bisa berbahasa Inggris.
Dia berusaha ramah dengan gesture dan bahasa yang tidak kami mengerti. Tapi sudahlah tak apa, toh dia sudah tahu kemana tujuan kami.
Pelataran Parkir Bandara Tribhuvan, Kathmandu |
Semuanya semakin aneh, ketika mereka berusaha membukakan pintu mobil dan membantu melepaskan ransel bawaan, sementara buat kami itu pekerjaan yang sangat mudah, yang pada akhirnya kami selesaikan sendiri. Ketika pintu mobil akan ditutup, mereka menahan dan meminta ongkos. Kami bingung, ongkos untuk apa? Dan jawab mereka adalah, ongkos untuk membantu kami membawa barang bawaan sampai ke mobil.
Saya memberi kode protes ke sopir jemputan, tapi tampaknya dia tidak paham dan juga sedikit ketakutan. Sementara travelmate saya protes langsung ke orang-orang tersebut, dan mengatakan bahwa dia melakukan semuanya sendiri. Tapi orang-orang tersebut tetap tidak peduli.
Saya yang sudah cukup lelah dengan perjalanan selama sepuluh jam, ditambah dengan kurang tidur. Menjadi malas untuk beradu argumentasi. Akhirnya, karena sedari tadi mereka mengira kami orang Malaysia dan menagih ringgit, maka saya berikan recehan ringgit yang saya bawa dari Indonesia. Dan mereka pun pergi.
Ah preman dimana-mana selalu ada.
Naik, Naik ke Nagarkot
Meskipun kejadian tadi membuat kami sedikit kesal, hal itu tidak kami pelihara lama-lama. Begitu kendaraan kami membelah kota Kathmandu, topik bahasan segera berubah.
Oh ya, pada awalnya kami berpikir bahwa kami akan dijemput dengan menggunakan sebuah minivan atau sejenisnya, seperti yang kami lihat banyak berjajar di pelataran parkir bandara. Ternyata kami dijemput dengan menggunakan sedan, yang juga umum digunakan taksi-taksi di Nepal. Dan ukurannya, benar-benar di luar dugaan. Kecil dan sempit.
Seperti ini penampakan taksi-taksi di Kathmandu dan Nepal pada umumnya |
Jalan raya yang menghubungkan bandara dengan kota Kathmandu, sangat lebar dan lengang. Dengan trotoar yang cukup lebar di sisi-sisinya. Saking lebarnya satu atau dua mobil masih bisa berlalu lalang di atasnya. Saya belum pernah melihat trotoar selebar itu sebelumnya. Hanya saja, tidak banyak pohon peneduh yang memayungi jalan.
Selain itu jalanan kota Kathmandu terlihat sangat-sangat berdebu. Bukan hanya jalanannya, tapi semuanya. Bangunan-bangunan kubus yang berhimpitan di sisi-sisinya dan di kejauhan, serta vegetasi yang tersebar, juga disaputi debu yang cukup tebal. Saya membayangkan jika hujan turun, debu-debu itu akan berubah menjadi pupur cair tebal dan jeblok di jalanan.
Jalanan luar kota Kathmandu mengarah ke Bhaktapur, lebar dan lengang |
Kami melihat bus-bus lokal yang mengangkut penumpang bersesakan hingga ke atapnya. Wanita-wanita yang berjalan dengan busana yang selama ini saya pikir hanya dikenakan di India. Dan beberapa sadhu dengan gelungan gimbalnya, yang selama ini hanya saya lihat di foto-foto dokumentasi.Wajah-wajah yang tampak berasal dari aneka rupa ras yang berbeda. Berkulit legam, kuning terang, atau coklat biasa seperti kami. Bermata bulat lebar, biasa, hingga yang sipit. Dengan perawakan menjulang, rata-rata, hingga yang lebih kecil dari kami. Dan beberapa di antaranya cukup rupawan, dalam balutan busana musim dingin mereka.
Suasana pasar di luar kota Kathmandu, dekat Bhaktapur |
Warga Kathmandu sedang menikmati sore hari |
travelogue selanjutnya >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar